KH. Muhyidin Abdusshomad
Ukuran : 14,5 x 20,5 cm
Halama : 428 halaman
Jenis Kertas : CD @ Rp. 45.000,-
HVS @ Rp. 55.000,-
Semua Amaliah NU itu Ma’tsurat atau ada landasan hukumnya. itulah
kesan yang muncul bila membaca buku Fiqh Tradisionalis ini. Hal itu
tidak bisa dielakkan, karena buku buku ini sengaja (atau tidak) didesain
untuk menjawab segala tudingan terhadap amaliah NU. Bahwa, amaliah NU
yang ghairu ma’tsurat (tidak berlandas) yang ada padaku (Muhammad SAW
dan para sahabat). Tudingan itu sama halnya mempersamakan orang-orang NU
sebagai ahlul tahayul wal bid’ah wal khurafat penganut tahayul, bid’ah
dan khurafat). Dan itu tentu sangat menyakitkan Kendati demikian, selama
ini belum ada kiai NU yang mengklarifikasi tudingan di atas dengan
pendekatan akademik ilmiah, melainkan hanya pendekatan retorika politik.
Baru pada usia 78 tahun NU, ada kiai yang secara serius dan intensif
melakukannya sebagai sumbangsih ideologis kepada generasi NU mendatang
dalam mempertahankan ajaran dan gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah di
Indonesia.
Menarik lagi, bila membaca satu demi satu pelbagai persoalan keagamaan
sehari-hari yang diangkat dalam buku ini. Ternyata, dari 10 bab dan 99
sub bab, persoalan keagamaan yang diangkat bukan hanya seputar fikih,
tetapi juga akidah. Namun mengapa menggunakan judul Fiqh Tradisionalis?
Istilah “Fiqh” lazim dalam khazanah keislaman klasik digunakan dalam
persoalan fikih dan akidah sekaligus. Imam Malik, salah satu imam
madzhab dari empat imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali),
menggunakan istilah Fiqh al-akbar dalam akidah dan fiqh al-ashghar dalam
fikih. Semua itu kulitnya saja.
Sedang kulit dalamnya dalam buku ini menguraikan tradisi keagamaan
NU. Seluruh keyakinan dan amaliah NU adalah ma’tsurat (berlandas) pada
tradisi keagamaan Rasulullah dan para sahabat. Survey membuktikan,
melafalkan niat salat, qunut, memegang tongkat dalam khutbah Jum’at,
salat tarawih 23 rakaat, zakat untuk guru ngaji, ru’yatul hilal,
selamatan haji, talqin, ziarah kubur, tawassul, merayakan maulid Nabi
Muhammad saw., hizib dan azimat, mencium tangan kiai dan masih banyak
lagi, ternyata semuanya berdasarkan pada tradisi Rasul dan para
sahabat.Bahkan, ulama yang menjadi rujukan penentang tradisi keagamaan
tersebut juga tak jarang yang membenarkannya. Sebagai bukti, Imam Ramli
menganjurkan melafalkan niat salat untuk membantu hati guna menghindari
was-was, walau niat ada di dalam hati. Hal itu berdasarkan pada hadis
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas r.a. bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah SAW melafalakan niat haji. Melafalkan niat bukan hanya
berlaku pada ibadah haji saja, melainkan juga pada ibadah-ibadah lainnya
(hlm: 74-75).
Imam Nawawi menganjurkan membaca doa Qunut pada salat Subuh. Hal itu
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Anas bin
Malik r.a., bahwa Rasulullah saw. senantiasa membaca Qunut pada salat
Subuh sampai beliau wafat. Sahabat Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, al-Barra’ bin
Azib, juga melakukan hal yang sama dalam sepanjang hidupnya (hlm:87-88).
Kebanyakan ulama menganjurkan memegang tongkat pada saat khotbah. Hal
itu berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, bahwa
Rasulullah saw. memegang busur panah dalam kondisi perang, dan memegang
tongkat pada saat salat Jum’at. Al-Shan’ani dalam kitab Subulussalam,
menjelaskan bahwa khotbah disunnahkan memegang tongkat, agar bisa
konsentrasi dan khusu’(hlm:116-118).
Syekh Ali al-Shobuni, Syekh Isma’il, Ibnu Taimiyah, Abdullahbin Abdil Wahab, dan Imam Malik menjelaskan bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat. Hal itu berdasarkan pada Sunan Tirmidzi, bahwa para ulama lebih memegang hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang melaksanakan salat Tarawih 20 rakaat, dan salat Witir 3 rakaat. Dan mulai dari dulu sampai kini, salat Tarawih di Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah, sebanyak 20 rakaat (hlm:124:127).
Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha’ al-Dimyati memperkenankan
guru untuk menerima zakat asalkan guru ngaji itu tidak mampu secara
ekonomi. Mungkin karena kesibukannya membimbing generasi muslim agar
melek al-Qur’an, dan bebas dari buta huruf al-Qur’an, sampai-sampai ia
tidak atau kurang mempunyai kesempatan mencari pekerjaan guna memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari (hlm:152-153).
Ahmad al-Syarbashi menyatakan bahwa kebanyakan ulama sepakat untuk
menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal atau
menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban dan Ramadhan. Hal itu berdasarkan
pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar
ra., bahwa berpuasa atau berbuka puasa dilarang sebelum melihat bulan, dan kalau mendung, maka bilangan bulan disempurnakan menjadi 30 hari (hlm:157-159).
Sampaikan pada teman
Fiqh Tradisional Jawaban Pelbagai Persoalan Sehari hari | Toko Buku Al Fateh bisa Anda dapatkan di
Toko Buku Al Fateh | Hub. 0852.3161.2096
Jangan lupa kunjungi juga buku kami : Menyingkap Tirai Kehidupan nabi Muhammas SAW
+ komentar + 1 komentar
Bagaimana cara pesen ke Jember?
Posting Komentar